Yeh. 34:1-10
Dalam penyederhanaan istilah, pemimpin adalah pribadi yang mengemban tugas kepemimpinan, sedangkan kepemimpinan sendiri merupakan serangkaian pengaruh dari seseorang kepada orang lainnya. Saat istilah pemimpin dan kepemimpinan tadi disatukan maka rupanya kita semua adalah pemimpin yang dibedakan oleh scope-nya masing-masing. Ada pemimpin bagi keluarga, bagi lingkungan antar warga, bagi instansi dan lain sebagainya. Untuk lebih spesifik maka pemimpin dan kepemimpinan pun telah dikembangkan definisinya. Pemimpin adalah seseorang yang memiliki ‘kompas’ visi dikepalanya sehingga ia tau arah yang tepat, juga memiliki ‘magnet’ di hatinya sehingga ia mampu menarik sebanyak-banyaknya orang untuk mengerjakan visi tersebut dan terlebih ia adalah seorang dengan tangan dan kaki yang bersegera mewujudkan visi. Dengan demikian kepemimpinan bukan lagi hanya soal pengaruh dari seorang kepada orang lainnya, tetapi meningkat menjadi tanggung jawab yang diemban oleh seorang atas banyak orang lainnya.
Untuk sampai pada level memiliki ‘kompas’ visi di kepala, ‘magnet’ di hati serta tangan dan kaki bersegera mewujudkan visi maka sesungguhnya pemimpin haruslah seorang yang berintegritas. Berintegritas berarti satunya kepribadian dengan tindakan. Artinya ketika pemimpin memiliki visi dikepalanya maka orang pertama yang harus mengusahakan visi tersebut adalah dirinya, saat ia menunjukan magnet di hatinya bagi orang-orang lain maka magnet tersebut seharusnya sudah terbukti efektif bagi orang-orang terdekatnya misalnya, istri/suami, anak-anak/orang tuanya. Saat ia membuktikan bahwa tangan dan kakinya bersegera melakukan kebaikan, maka itu bukanlah demi popularitas atau menjadi konsumsi media massa, tetapi menjadi konsumsi dari kaum papa dan marginal. Sederhananya, pemimpin yang berintegritas adalah pemimpin yang sadar bahwa dirinya adalah agen Allah untuk mewujudkan damai dan sejahtera Allah atas dunia yang semakin menyimpang, yang untuk mewujudkan hal tersebut ia sadar bahwa dirinya sepenuhnya berada dalam kepemilikan Allah sebagai Sang Visioner, Sang Grand Desainer, dan Sang Causa Prima. Dalam hal ini pun kita kesulitan menemukan tipe pemimpin seperti itu.
Demi tercapainya tujuan kepemimpinan tidak jarang pribadi pemimpin diperhadapkan pada role of leadership yang akan dibangunnya. Memang ada banyak role of leadership di dunia ini dan masing-masing akan dirasa efektif untuk konteks yang tepat. Julius Caesar mengembangkan civilation democratic, Hitler mengembangkan communisme authority, Sadam Husaen dengan military authority, Queen Elisabeth dengan monarchy authority dan masih banyak lagi model role of leadership.
Sejak awal mencipta Adam dan Hawa, Allah telah menetapkan model teokrasi sebagai role of leadership. Ia menjadikan mereka dalam gambar dan rupa-Nya, Ia menjadikan mereka sebagai pembawa mandat ilahi termasuk mandat budaya, Ia kemudian mendelegasikan authority kepada mereka guna menjadi ‘pemimpin kecil’ atas ciptaan lainnya. Sejarah keturunan Adam dan Hawa terus bergerak hingga menjadi sebuah komunitas besar turunan Yakub yang kemudian dikenal dengan Israel. Mereka menjadi gambar dan rupa Allah tidak lagi di taman Eden tetapi di dunia yang dipenuhi berhala dan sekularisme, yang rupanya memberikan tawaran yang lebih menggiurkan dari pada terus berada dalam teokrasi. Akhirnya terpilihlah Saul, hanya karena ia memiliki postur tubuh yang lebih tinggi dan perkasa dari kebanyakan mereka.
Kegagalan kepemimpinan bukan hanya untuk dunia sekuler bahkan hingga dunia religi. Sejarah Alkitab memberikan bukti nyata gagalnya kepemimpinan hingga terjadi pembuangan bangsa Israel baik di Asyur, Babilonia maupun Romawi. Dalam gagalnya para pemimpin baik pemimpin bangsa maupun pemimpin religi, Tuhan melakukan intervensi melalui para nabi, salah satunya adalah Yehezkiel. Intervensi harus dilakukan oleh karena kepemimpinan yang salah akan merugikan umat. Umat menjadi liar, anarkis, bebal hukum. Intinya, umat akan melanggar/menabrak nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
Peranan Yehezkial adalah untuk menghukum para pemimpin rohani umat/para gembala yang mengabaikan tugas-tugas penggembalaan. Alkitab menggunakan istilah stewarship atau penatalayanan atas tugas-tugas penggembalaan. Istilah ini dimaksud bagi mereka yang tugasnya adalah sebagai ‘penyalur’ kasih karunia Allah bagi umat. Para stewardship ini sesungguhnya adalah alat-alat anugerah dari Allah untuk kesejahteraan umat, oleh karena melalui mereka Allah menguatkan yang lemah, mengobati yang sakit, membalut yang luka, mencari yang tersesat, mengumpulkan yang terserak serta menjaga mereka dari ajaran yang menyimpang.
Dalam konteks masa pelayanan Yehezkiel, ia justru harus berhadapan dengan para gembala yang hanya memperkaya diri, memperalat dan memeras umat serta mengabaikan suara kebenaran Allah yang seharusnya menjadi bagian dari tugasnya sebagai gembala. Pengabaian tugas stewardship ini terjadi oleh karena beberapa hal: pengabaian firman Allah (Yeh. 33:23-33), serta fokus hanya pada diri sendiri (Yeh. 34:2b). Inilah kegagalan dari banyak pemimpin: mengabaikan kebenaran dan keadilan, serta memperkaya diri setelah memiliki kesempatan memimpin. Kegagalan ini justru dihasilkan dari sifat kemanusiaannya yang menuntut untuk dipuaskan, baik kebutuhan akan status, harga diri, dan penghormatan, yang seringkali dianggap bisa didapatkan dengan cara memiliki banyak kemewahan.
Allah bukannya tidak menyukai human leadership, sebab Ia juga memakai pribadi-pribadi baik seperti Daud, Salomo, Hizkia, dll; bahkan beberapa dari kelompok marginal seperti Samgar, Debora, Rut dan Ester. Allah juga memakai orang-orang yang cerdas seperti Ezra, Daniel, dan Salomo. Allah juga memakai mereka dengan kecakapan militer seperti Musa, Yosua, Simson. Allah memakai mereka bukan karena mereka telah siap sebelumnya melainkan karena mereka merelakan dirinya untuk dipersiapkan oleh Allah. Pada akhirnya God-human leadership menyatu dalam diri dan pelayanan Tuhan Yesus. Dalam diri Tuhan Yesus sekaligus melekat status sebagai Raja, Imam dan Nabi. Status raja untuk leadership authority, imam untuk spiritual authority dan nabi untuk God’s authority. Tuhan Yesus menjadi model kepemimpinan teokrasi yang sesungguhnya, dimana kebenaran dan keadilan bersinergis dalam diri seorang Allah-manusia sejati.
Menjadikan Tuhan Yesus sebagai model kepemimpinan merupakan syarat mutlak bagi terciptanya model kepemimpinan yang ideal. Biasanya model kepemimpinan Tuhan Yesus disebut dengan pemimpin yang melayani atau kepemimpinan rohani. Kepemimpinan rohani merupakan satu campuran antara sifat-sifat alamiah dan rohani. Sifat-sifat alamiah pun bukannya timbul begitu saja, melainkan diberikan oleh Allah, dan oleh karena itu sifat-sifat ini akan mencapai efektivitasnya yang tertinggi, jika digunakan di dalam melayani Allah dan untuk kemuliaanNya. Kepribadian merupakan faktor yang penting dalam kepemimpinan alamiah. Tetapi seorang pemimpin rohani mempengaruhi orang lain bukan dengan kekuatan kepribadiannya sendiri saja, melainkan dengan kepribadian yang dikuasai Roh Kudus. Kepemimpinan alamiah dan kepemimpinan rohaniah mempunyai banyak segi persamaan, tetapi dalam beberapa hal nampak ada pertentangan. Ini dapat dilihat, apabila kita membandingkan sifat-sifatnya yang menonjol.
ALAMIAH ROHANI
1. Percaya kepada diri sendiri 1. Percaya kepada Allah
2. Mengenal orang 2. Mengenal orang dan Allah
3. Mengambil keputusan sendiri 3. Berusaha mencari kehendak Alah
4. Ambisius 4. Tidak menonjolkan diri sendiri
5. Menciptakan cara-caranya sendiri 5. Mencari dan mengikuti cara Allah
6. Suka menyuruh orang lain 6. Suka mentaati Allah
7. Didorong oleh pertimbanganpribadi 7. Didorong oleh kasih kepada Allah dan manusia
8. Berdiri sendiri 8. Bergantung pada Allah
Tugas kepemimpinan adalah tugas yang diwasiatkan Tuhan Yesus kepada seluruh pengikutnya. Tugas kepemimpinan yang visi utamanya adalah menjadikan segala bangsa murid Kristus, yang untuk merealisasikannya tugas kita jelas harus menjangkau sebanyak-banyaknya orang melalui keteladanan, pengaruh, empathy, kasih dan doa. Kiranya Tuhan menolong dan menguatkan kita menjadi pemimpin yang menggembalakan.